Desember 30, 2011

Melihat Kerukunan antar Umat Beragama di Pura Lingsar, Lombok

Mungkin Anda sudah biasa mengunjungi Pura ketika Anda berjalan-jalan di Bali. Memang salah satu persamaan antara Bali dan Lombok adalah pura yang bisa Anda temui dimana-mana.
Tapi pura di Lombok yang satu ini bukanlah pura biasa, jangan sampai melewatkan kunjungan ke pura ini ketika Anda sedang mengunjungi Lombok, karena memang sekilas terlihat biasa, tetapi pura ini adalah pura yang istimewa, berbeda dengan pura-pura lainnya, karena dari pura ini bisa dilihat kerukunan antar umat beragama yang sekarang sudah sukar untuk dijumpai di negeri kita.

Pura dengan nama Pura Lingsar merupakan pura terbesar dan tertua yang dibangun sekitar tahun 1714 M pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem oleh Raja Anak Agung Ngurah. Pura ini terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sekitar 15km dari ibukota Mataram.

Pura ini merupakan simbol kerukunan antar umat beragama. Hal ini dikarenakan selain menjadi tempat ibadah umat Hindu, pura ini juga digunakan oleh umat Islam suku Sasak yang beraliran Wetu Telu (Waktu Tiga), mereka hidup berdampingan dan mengelola pura bersama-sama. Untuk menjaga kedamaian, di larang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh masing-masing agama di dalam dan di daerah sekitar pura. Bahkan sapi yang dianggap suci oleh umat Hindu dilarang berkeliaran sampai dengan radius 2km dari Pura Lingsar. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura ini, pengunjung disarankan untuk menggunakan selendang yang diikatkan ke pinggang. pemakaian selendang ini untuk menghormati Pura ini yang dianggap suci oleh umat Hindu dan Islam.

Pura Lingsar terdiri dari dua bangunan utama. Bangunan pura untuk umat Hindu dinamakan Gaduh sementara bagian untuk suku Sasak disebut Kemaliq. Kemaliq artinya tempat keramat atau suci dan sakral. Di depan kedua bangunan tersebut terdapat dua rumah tinggal yang dihuni oleh Pemangku (pemimpin umat agama Hindhu) serta Amangku (pemuka adat suku Sasak) yang keduanya dipilih secara turun temurun.

Jika upacara pujawali di Pura lain hanya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu, lain halnya dengan di Pura Lingsar. Di Pura ini upacara pujawali yang diselenggarakan setiap purnamaning sasih kanem – menurut perhitungan penanggalan Bali atau jatuh sekitar bulan Desember pada penanggalan Masehi, dilakukan bersama oleh umat Hindu dan Suku Sasak yang beragama Islam.

Di Pura Lingsar, upacara pujawali dirangkai dengan tradisi perang topat (ketupat), yang merupakan simbol perdamaian antara umat Muslim dan Hindu di Lombok, menjadi satu prosesi yang tidak bisa dipisahkan
Sebagaimana perang, tradisi ini memang tampak seperti layaknya sedang berperang. Namun, dalam hal ini, sesuai dengan namanya, yang menjadi senjata dalam peperangan ini adalah topat (ketupat).
Semua yang ikut dalam prosesi ini akan saling melemparkan ketupat kepada siapa saja. Tak ada yang cedera dalam upacara ini. Upacara dilaksanakan dengan penuh kegembiraan.Seusai berperang, ketupat yang menjadi senjata selama peperangan kemudian dipungut kembali untuk dibawa pulang. Ketupat ini diyakini sebagai berkah. Ketupat ini juga nantinya ditebar di sawah-sawah penduduk karena dipercaya dapat menyuburkan tanaman padi.

Dalam perang topat, wanita yang sedang menstruasi dilarang ikut serta dalam prosesi ini. Selain itu, ketupat yang belum dilemparkan tidak boleh dibawa pulang. Perang topat bertujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak - sistem irigasi pertanian.

Perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun menyembur, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Dari legenda inilah maka desa ini diberi nama Lingsar.

Entah bagaimana, Sumilir hilang disana. Seisi istana dan warga mengalami kesedihan yang berlarut hingga 2 tahun. Suatu ketika keponakan Sumilir yang bernama Datu Piling menemukan pamannya di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang untuk yang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.
Sebagai rasa syukur, perang topat kemudian dilestarikan, menandai saat dimulainya menggarap sawah.

Dalam Pura ini terdapat sebuah kolam kecil dengan mata air yang dianggap suci oleh sebagian penduduk karena dipercaya mampu memberikan peruntungan. Para wisatawan biasanya melempar koin (uang logam) ke dalamnya dengan posisi badan membelakangi kolam sambil menyebutkan keinginannya dalam hati. Yang unik dari kolam ini adalah tingkat kedalaman kolam yang tidak pernah berubah.

Di dalam kolam itu pula terdapat ikan tuna besar yang panjangnya mencapai 1m. Konon umur ikan tersebut sudah mencapai ratusan tahun. Kepercayaan masyarakat sekitar, pengunjung yang dapat melihat ikan tuna itu akan mendapat keberuntungan. Para wisatawan biasanya menggunakan berbagai cara agar ikan tersebut bisa keluar, diantaranya memancingnya dengan telur ayam rebus. Pada saat Anda berkunjung ke Pura ini, jangan heran jika Anda ditawari jasa pawang untuk memancing penampakan ikan tersebut.


Desember 28, 2011

Melihat Kekayaan Taman Wisata Alam Suranadi, Lombok

Taman Wisata Alam Suranadi adalah satu dari sepuluh Taman Wisata Alam yang ada di Nusa Tenggara Barat. Taman dengan luas 52Ha ini tepatnya terletak di Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Taman ini hanya berjarak sekitar 18km dari Kota Mataram, bisa dicapai dalam waktu sekitar setengah jam saja.

Suranadi berasal dari kata sura yang berarti dewa, dan nadi memiliki arti sungai. Konon, Suranadi juga mengandung arti kahyangan dalam kamus bahasa Jawa Kuno.

Sejarah Suranadi sendiri menurut kebudayaan masyarakat setempat bermula pada abad ke XIII/XIV, datang seorang Bangsa India penyebar agama Hindu yang sakti bernama Dang Hyang Nilarta untuk mengunjungi Pulau Jawa, Bali dan Lombok dengan berjalan kaki sambil membawa tongkat sakti. Perjalanan selama di Hutan Suranadi diselingi dengan 4 kali istirahat. Selama istirahat Beliau menancapkan tongkatnya ke dalam tanah sebanyak empat kali di tempat Beliau istirahat, seketika itu air bersih menyembur keluar dari lubang bekas ditancapkannya tongkat tersebut. Air pertama yang menyembur keluar disebut air suci pembersih, air kedua disebut air suci pangentas, air ketiga disebut air suci panglukatan dan air keempat disebut air suci petirta.
Untuk menghormati/mengenang jasa Beliau, di Lombok, khususnya di Lombok Barat, setiap tahun diadakan upacara agama Hindu Dharma pada waktu bulan purnama sasih kapat (Oktober/November).
Demikian pula dalam upacara penguburan mayat bagi penganut agama Hindu Dharma di Lombok Barat, bila seseorang telah meninggal jenazahnya cukup dibersihkan dengan memakai air suci pembersih/pengentas sebelum dikuburkan. (Sumber: http://www.dephut.go.id/informasi/propinsi/ntb/suranadi_ntb.html )

Taman Wisata Alam Suranadi kaya akan aneka ragam jenis tumbuhan. Vegetasi yang menutupi kawasan Taman Wisata Alam Suranadi merupakan vegetasi campuran yang tersebar merata dan ditandai dengan tumbuhnya pohon-pohon yang tinggi bercampur dengan perdu, semak dan padang rumput. Anda akan menjumpai beberapa jenis pohon dengan tinggi 25m-30m dan berdiameter hingga lebih dari 1.5m, seperti beringin, garu, terep, suren, kemiri dan purut. Aneka jenis tumbuhan dengan pepohonan yang besar dengan percabangan yang banyak membuat beberapa jenis satwa juga betah untuk tinggal di dalam taman ini, seperti kera, musang, dll.

Tidak ketinggalan, di dalam Taman Wisata Alam Suranadi ini juga memiliki pura yang dikenal dengan nama Pura Suranadi. Terletak di dalam Taman Wisata Alam Suranadi, tentu saja pura ini dikelilingi oleh alam yang masih asri. Pura ini memiliki pura-pura yang berpola menyebar secara fisik, sesuai dengan keberadaan sumber mata air yang terdapat di kawasan tersebut, tetapi dari segi rangkaian kegiatan ritual merupakan satu kesatuan.

Di Pura Suranadi terdapat 5 sumber mata air yang dikenal dengan nama Panca Tirtha atau Pancaksara. Air tersebut dianggap sakral dan diyakini sebagai syarat kelengkapan di dalam menjalankan upacara keagamaan.
Konon keberadaan Pura Suranadi terkait dengan perjalanan Danghyang Dwijendra, dikenal pula dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh - menuju Sasak (Lombok) untuk kedua kalinya. Di Lombok, beliau dijuluki juga sebagai Pangeran Sangupati. Guna menjaga agar umat Hindu yang ditinggalkan bisa melakukan tertib upacara menurut ajaran agama yang telah ditentukan, lantas beliau dengan “puja mantera”-nya memunculkan pancatirtha (lima macam tirta) di Suranadi. Kelima pancatirtha tersebut adalah:

1. Mata air toya tabah yang digunakan dalam upacara pitra yadnya;
2. Mata air toya pabersihan untuk upacara pembersihan sawa (jenazah) sebelum diberikan tirta pangentas;
3. Mata air pangentas diberikan kepada jenazah sebelum dikubur/dibakar. Di dekat tirta pangentas juga terdapat pembuangan air yang dikanel sebagai tirta permandian kerbau untuk memerciki hewan sebelum dipotong;
4. Mata air toya panglukatan, tirta prayascita untuk pembersihan diri, dan dipakai dalam upacara dewa yadnya, manusa yadnya, dan bhuta yadnya;
5. Mata air tirta, dipergunakan saat puncak upacara, sebagai prasadam dan diberikan kepada peserta upacara sebagai tirta wasuh paddya.

Selain itu, ada pula versi lain yang menyebutkan, Pura Suranadi dibangun atas gagasan raja Pagesangan bernama AA Nyoman Karang pada 1720M. Seorang pendeta dari Bali - cucu Danghyang Dwijendra - bernama Pedanda Sakti Abah, dipanggil oleh Raja Pagesangan guna melaksanakan panca yadnya, yakni lima macam pengorbanan suci menurut ajaran agama Hindu. Guna kelangsungan kegiatan ritual secara berkelanjutan itulah, dipilih Suranadi sebagai tempatnya.

Di Suranadi terdapat tiga buah kelompok pura. Masing-masing diberi nama sesuai dengan fungsi sumber air yang ada di dalamnya. Pun tiap-tiap pura itu memiliki zona (area) jaba sisi, jaba tengah, jeroan (tri mandala).

Ketiga Pura itu adalah :

1. Pura Ulon/Gaduh, terletak di ujung timur laut, berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam. Di halaman pura ini terdapat mata air petirtan dan panglukatan. Beberapa palinggih dan perlengkapan upacara yang ada di dalamnya adalah (a) padmasana, (b) linggih Batara Gde Lingsar, (c) linggih Batara Bagus Gunung Rinjani, (d) linggih Batara Surya Ngelurah, (e) gedong penyimpenan, (f) padma petirtan, (g) bale pelik/pengaruman, (h) padma penglukatan, (i) bale pamangku, (j) linggih Majapahit, (k) palinggih tirta, (l) kemaliq, (m) bale banten, (n) bale pawedan, (o) bale pererenan/pakemitan, (p) bale gong, dan (q) bale kulkul. Kedua terakhir ini (p dan q) terletak di seberang jalan.

2. Pura Pangentas, terletak beberapa puluh meter dari Pura Ulon, ke arah barat daya. Memasuki pura ini, mesti melalui jalan setapak. Memiliki dua palinggih, pura ini secara fisik memiliki luasan yang terkecil dan paling sederhana di antara ketiga pura yang ada di Suranadi. Memiliki mata air pangentas, mata air tabah/penembak dan tirta mapepada. Pura ini berfungsi sebagai tempat mengambil air untuk upacara pitra yadnya semata, yakni toya tabah dan pangentas. Maka bisa dipahami bahwa di dalamnya tidak banyak dibangun sarana penunjang sebagaimana yang ada pada pura lainnya.

3. Pura Pabersihan, berkedudukan sekitar 300m dari Pura Ulon. Di pura ini terdapat hanya satu mata air yakni pabersihan, dengan beberapa macam palinggih dan bangunan pelengkap upacara seperti (a) padmasari, (b) ngelurah, (c) tapasanu, (d) linggih Ida Betara Gde Lingsar, (e) genah Mangku ngastawa, (f) bale banten, (g) bale pawedan, (h) bale pakemitan, dan (i) gedong penyimpenan. Mata air dari pura pabersihan bermuara pada sebuah permandian umum (menempel dengan tembok panyengker pura), di sebelah selatan pura pabersihan.

Desember 15, 2011

Air Awet Muda di Taman Narmada, Lombok

Selain Taman Air Mayura, Lombok masih mempunyai objek wisata peninggalan sejarah lainnya yang masih merupakan peninggalan Kerajaan Karang Asem Bali, yakni Taman Narmada. Taman Air Mayura dan Taman Narmada merupakan satu kesatuan objek wisata yang tidak bisa terpisahkan dari kejayaan Kerajaan Karang Asem saat berkuasa di wilayah Mataram.
Taman Narmada terletak di Desa Lembuah, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, sekitar 10km sebelah timur Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Sama seperti Taman Air Mayura, Taman Narmada juga ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Taman Narmada memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan, selain karena memiliki taman yang luas, juga karena pada taman ini memiliki sejumlah kolam yang memiliki nilai sejarah tersendiri.

Nama Narmada, konon berasal dari kata Narmadanadi, nama salah satu anak Sungai Gangga di India. Sungai Gangga adalah salah satu sungai yang dianggap suci oleh umat Hindu di India.

Taman Narmada memiliki luas sekitar 2ha. Taman ini dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karangasem, sebagai tempat alternatif untuk upacara Pakelem yang diselenggarakan setiap purnama kelima tahun Caka (Oktober-November). Sebenarnya upacara ini dilakukan di Danau Segara Anak di Gunung Rinjani, konon Sang Raja sudah terlalu tua untuk melakukan upacara ke gunung yang memiliki ketinggian 3.726m tersebut, maka beliau memerintahkan untuk membangun tempat yang bernuansa Gunung Rinjani ke tengah pusat kota.

Selain sebagai tempat upacara, Taman Narmada juga digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja pada saat musim kemarau, memiliki kolam berukuran besar yang konon merupakan tempat mandi para raja bersama permaisurinya. Sumber mata air yang mengisi kolam ini merupakan inti dari kunjungan para wisatawan, karena konon air dari sumber mata air tersebut diyakini bisa membuat awet muda. Rata-rata pengunjung taman ini akan mandi selama tiga sampai empat jam. Tak jarang pula para ibu rumah tangga datang ke taman ini untuk mengambil air awet muda ini, karena diyakini mencuci muka dengan air tersebut akan membuat keriput pada kulit hilang. Selain itu tidak sedikit juga yang mengambil air dari taman ini untuk dibawa pulang untuk mandi dirumah karena diyakini air tersebut dapat mengencangkan kulit-kulit tubuh yang kendor. Penelitian memang menunjukkan bahwa air dari sumber mata air pada taman ini memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi.

Hal unik dari taman ini adalah air dari sumber mata air ini tidak pernah habis berapapun jumlahnya yang diambil setiap hari, padahal sumber mata airnya sangat kecil sekali.

Eits, jangan hanya terpaku dengan air awet mudanya saja sehingga melupakan bagian lain dari Taman Narmada. Selain memiliki taman dan kolam, taman ini masih memiliki kawasan lain yang patut dikunjungi, salah satunya adalah Pura Kelasa. Nama Pura Kelasa sendiri konon diambil dari nama gunung di India, Gunung Kelasa. Pura Kelasa adalah salah satu Pura Jagat tertua di Lombok. Pura Kelasa sebagai replika Gunung Rinjani yang merupakan satu kesatuan dengan Kolam Segara Anak, dibangun dengan berkiblat ke arah puncak Gunung Rinjani dengan danau Segara Anakan-nya.
Di Taman Narmada ini juga terdapat tempat yang disebut Balai Pentirtaan. Diberi nama Balai Pentirtaan konon karena balai ini merupakan tempat pertemuan tiga aliran air yang mata airnya berada di Gunung Rinjani, yakni Suranadi, Lingsar, dan Narmada. Berasal dari kata Tirta dalam bahasa Sansekerta berarti air, dan Petirtan.

Untuk mengetahui lokasi lain di Taman Narmada, tidak ada salahnya Anda berhenti sejenak untuk membaca papan-papan informasi yang ada di taman ini. :)

Menikmati Kedamaian Natural di Mayura Water Palace, Lombok

Lombok memiliki kesamaan dengan Bali. Tidak mengherankan, karena Pulau Lombok pernah dikuasai oleh Kerajaan Bali, tepatnya pada 1744 M. Hal ini masih terlihat pada bangunan-bangunan di Lombok yang masih kental dengan corak Bali, salah satunya adalah Mayura Water Palace, atau disebut juga dengan Taman Air Mayura.

Taman Air Mayura dahulu bernama Taman Istana Kelepug, konon diambil dari suara yang muncul (kelepug-kelepug) karena derasnya air yang keluar dari mata air di tengah kolam dalam taman tersebut.

Pada masa Kerajaan Mataram, pada tahun 1866 Raja Anak Agung Ngurah Karangasem memberikan titah langsung untuk melakukan renovasi taman ini. Tidak hanya bangunan fisik, nama Istana Kelepug pun diganti menjadi Istana Mayura. Kata “mayura” sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti burung merak. Konon, pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Ngurah Karangasem, banyak ular berkeliaran di taman istana sehingga mengganggu aktivitas kerajaan. Raja kemudian berinisiatif untuk meminta bantuan sahabatnya yang seorang Pakistan untuk mengusir binatang berbisa tersebut. Ternyata orang Pakistan tersebut menggunakan merak untuk mengusir ular-ular tersebut .

Taman ini terletak di pusat bisnis, tepatnya di Kecamatan Cakranagera, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Letaknya yang strategis serta nilai sejarah yang banyak terkandung di dalamnya menjadikan taman ini sering dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Dari Ibukota Mataram, hanya dibutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk mencapai taman ini.

Bangunan bersejarah ini menawarkan perpaduan suasana antara nuansa alam, atmosfer religius dan sejarah. Kesan pertama yang Anda dapati ketika memasuki taman ini adalah kesan bangunan taman yang mampu menghadirkan kedamaian natural, jauh dari hingar bingar kota.

Istana ini dilengkapi dengan kolam yang ditata sedemikian rupa sehingga menampakkan kesan asri pada taman ini. Di tengah kolam berdiri sebuah bangunan yang disebut Bale Kambang. Ada yang menyebutnya gili (dalam bahasa lokal bermakna pulau kecil) karena keberadaannya di tengah-tengah kolam yang menyerupai pulau kecil di tengah samudera.  Ada yang menyebut bahwa bangunan terapung Bale Kambang dahulu dipakai untuk mengadili suatu perkara pada jaman penjajahan Belanda. Ditengah kolam terdapat patung burung merak dan patung batu manusia yang berwajah Asia Barat. Konon patung itu dibuat sebagai tanda terima kasih Sang Raja kepada sahabat raja dari Pakistan atas idenya untuk memberantas ular dengan memelihara burung merak. Di dalam komplek ini banyak sekali dijumpai pohon manggis berderet rapi yang menambah sejuknya udara di taman.

Beberapa bangunan yang bercirikan Bali serta paduan antara pengaruh Jawa dan Lombok menjadikan Mayura sangat bernuansa religius. Bahkan, menurut penjaga Taman ini, roh utama taman ini adalah sebuah pura yang terletak di hulu kolam. Namun karena luasnya taman, deretan pohon manggis, kolam yang lebar serta letak pura yang di ujung, menjadikan pura ini selalu terlewatkan dari perhatian para pengunjung. Pura tersebut masih menggunakan namanya yang lama “Kelepug” untuk mengingatkan akan nama asli taman ini. Dalam beberapa ritual khusus, pura ini masih tetap difungsikan sebagai tempat pemujaan para dewa.

Desember 12, 2011

Indahnya Air Terjun Sendang Gile & Tiu Kelep di Lombok

Jalan-jalan ke Pulau Lombok jangan lupa berkunjung ke Air Terjun Sendang Gile dan Aie Terjun Tiu Kelep, terletak di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, sekitar 60km dari Kota Mataram.

Asal mula nama Sendang Gile konon katanya karena penduduk setempat secara tidak sengaja menemukan air terjun ini pada saat memburu singa gila yang mengacau di sebuah kampung dan kemudian lari masuk ke hutan.

Air terjun ini berada di kaki Gunung Rinjani. Untuk mencapai kawasan wisata ini, bagi yang tinggal di daerah Senggigi Beach dapat berjalan menuju ke arah Utara melewati Hutan Monyet Pusuk. Perjalanan dengan kendaraan bermotor roda dua menempuh waktu sekitar 3-4 jam perjalanan, cukup lama memang, karena ini memang pengalaman pertama kami di Pulau Lombok, bermodal sepeda motor sewaan dan peta ditangan, sampai akhirnya kami tiba di air terjun yang indah ini :)

Air Terjun Sendang Gile
Ingin melihat air terjun yang lebih wah dari air terjun yang di atas?
Lanjutkan perjalanan menyusuri jalan kecil, jembatan 'unik', dan sungai kecil, dan lihatlah betapa mempesonanya Air Terjun Tiu Kelep!





Air Terjun Tiu Kelep
Jika ingin berbasah-basahan, jangan lupa membawa baju ganti, ada kolam di bawah Air Terjun Tiu Kelep dan rasakan sensasi dinginnya air di air terjun ini! :)

By the way, dari segi namanya, Air Terjun Tiu Kelep berasal dari Bahasa Sasak, bahasa sehari-hari masyarakat Lombok. Tiu sendiri berarti kolam dan Kelep adalah terbang, sehingga Tiu Kelep dapat diartikan sebagai kolam tempat air yang beterbangan.

Berkunjung ke air terjun ini jangan ragu untuk menggunakan jasa tour guide agar tidak nyasar. Untuk menuju Air Terjun Sendang Gile memang sudah tersedia jalur trackingnya, tetapi belum ada jalur tracking menuju Air Terjun Tiu Kelep. Dari biaya jasa yang ditawarkan, kita masih bisa menawarnya, tapi jangan afgan ya..
Pada saat kesana kebetulan kami ditawari biaya jasa guide yang masih masuk akal, plus orangnya yang ramah, menawarkan kami untuk membawa ransel kami dan menawarkan diri untuk memotret kami :)

Keuntungan lain yang akan Anda dapatkan apabila menggunakan jasa guide, tentunya dengan persetujuan Anda di awal terlebih dahulu, pada saat selesai berkunjung dari Air Terjun Tiu Kelep, Anda akan diajak berpetualang melewati track yang berbeda dari track sebelumnya, menyusuri terowongan yang dialiri air, yang kemungkinan besar akan Anda lewati jika melakukan tracking tanpa guide. seru!! :)


Sekedar tips, sebelum berangkat ke lokasi wisata ini, pastikan lampu kendaraan yang Anda gunakan berfungsi sempurna. Belum ada lampu penerangan yang cukup di sepanjang jalan dari lokasi air terjun sampai dengan kawasan Senggigi. Perjalanan yang lumayan panjang dan Anda akan mendapati diri Anda pulang pada malam hari.