Desember 30, 2011

Melihat Kerukunan antar Umat Beragama di Pura Lingsar, Lombok

Mungkin Anda sudah biasa mengunjungi Pura ketika Anda berjalan-jalan di Bali. Memang salah satu persamaan antara Bali dan Lombok adalah pura yang bisa Anda temui dimana-mana.
Tapi pura di Lombok yang satu ini bukanlah pura biasa, jangan sampai melewatkan kunjungan ke pura ini ketika Anda sedang mengunjungi Lombok, karena memang sekilas terlihat biasa, tetapi pura ini adalah pura yang istimewa, berbeda dengan pura-pura lainnya, karena dari pura ini bisa dilihat kerukunan antar umat beragama yang sekarang sudah sukar untuk dijumpai di negeri kita.

Pura dengan nama Pura Lingsar merupakan pura terbesar dan tertua yang dibangun sekitar tahun 1714 M pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem oleh Raja Anak Agung Ngurah. Pura ini terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sekitar 15km dari ibukota Mataram.

Pura ini merupakan simbol kerukunan antar umat beragama. Hal ini dikarenakan selain menjadi tempat ibadah umat Hindu, pura ini juga digunakan oleh umat Islam suku Sasak yang beraliran Wetu Telu (Waktu Tiga), mereka hidup berdampingan dan mengelola pura bersama-sama. Untuk menjaga kedamaian, di larang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh masing-masing agama di dalam dan di daerah sekitar pura. Bahkan sapi yang dianggap suci oleh umat Hindu dilarang berkeliaran sampai dengan radius 2km dari Pura Lingsar. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura ini, pengunjung disarankan untuk menggunakan selendang yang diikatkan ke pinggang. pemakaian selendang ini untuk menghormati Pura ini yang dianggap suci oleh umat Hindu dan Islam.

Pura Lingsar terdiri dari dua bangunan utama. Bangunan pura untuk umat Hindu dinamakan Gaduh sementara bagian untuk suku Sasak disebut Kemaliq. Kemaliq artinya tempat keramat atau suci dan sakral. Di depan kedua bangunan tersebut terdapat dua rumah tinggal yang dihuni oleh Pemangku (pemimpin umat agama Hindhu) serta Amangku (pemuka adat suku Sasak) yang keduanya dipilih secara turun temurun.

Jika upacara pujawali di Pura lain hanya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu, lain halnya dengan di Pura Lingsar. Di Pura ini upacara pujawali yang diselenggarakan setiap purnamaning sasih kanem – menurut perhitungan penanggalan Bali atau jatuh sekitar bulan Desember pada penanggalan Masehi, dilakukan bersama oleh umat Hindu dan Suku Sasak yang beragama Islam.

Di Pura Lingsar, upacara pujawali dirangkai dengan tradisi perang topat (ketupat), yang merupakan simbol perdamaian antara umat Muslim dan Hindu di Lombok, menjadi satu prosesi yang tidak bisa dipisahkan
Sebagaimana perang, tradisi ini memang tampak seperti layaknya sedang berperang. Namun, dalam hal ini, sesuai dengan namanya, yang menjadi senjata dalam peperangan ini adalah topat (ketupat).
Semua yang ikut dalam prosesi ini akan saling melemparkan ketupat kepada siapa saja. Tak ada yang cedera dalam upacara ini. Upacara dilaksanakan dengan penuh kegembiraan.Seusai berperang, ketupat yang menjadi senjata selama peperangan kemudian dipungut kembali untuk dibawa pulang. Ketupat ini diyakini sebagai berkah. Ketupat ini juga nantinya ditebar di sawah-sawah penduduk karena dipercaya dapat menyuburkan tanaman padi.

Dalam perang topat, wanita yang sedang menstruasi dilarang ikut serta dalam prosesi ini. Selain itu, ketupat yang belum dilemparkan tidak boleh dibawa pulang. Perang topat bertujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak - sistem irigasi pertanian.

Perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun menyembur, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Dari legenda inilah maka desa ini diberi nama Lingsar.

Entah bagaimana, Sumilir hilang disana. Seisi istana dan warga mengalami kesedihan yang berlarut hingga 2 tahun. Suatu ketika keponakan Sumilir yang bernama Datu Piling menemukan pamannya di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang untuk yang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.
Sebagai rasa syukur, perang topat kemudian dilestarikan, menandai saat dimulainya menggarap sawah.

Dalam Pura ini terdapat sebuah kolam kecil dengan mata air yang dianggap suci oleh sebagian penduduk karena dipercaya mampu memberikan peruntungan. Para wisatawan biasanya melempar koin (uang logam) ke dalamnya dengan posisi badan membelakangi kolam sambil menyebutkan keinginannya dalam hati. Yang unik dari kolam ini adalah tingkat kedalaman kolam yang tidak pernah berubah.

Di dalam kolam itu pula terdapat ikan tuna besar yang panjangnya mencapai 1m. Konon umur ikan tersebut sudah mencapai ratusan tahun. Kepercayaan masyarakat sekitar, pengunjung yang dapat melihat ikan tuna itu akan mendapat keberuntungan. Para wisatawan biasanya menggunakan berbagai cara agar ikan tersebut bisa keluar, diantaranya memancingnya dengan telur ayam rebus. Pada saat Anda berkunjung ke Pura ini, jangan heran jika Anda ditawari jasa pawang untuk memancing penampakan ikan tersebut.


1 komentar:

  1. bahagia kalau lihat kerukunan hidup antar umat beragama gini ya :) ..

    salam kenal nona.. kalau ada waktu, kasih saran di blog newbie yaa http://barrabaa.blogspot.co.id/ hehehe thank you..

    BalasHapus